13 Januari 2012
Kiblat Masjid Agung Demak
- Oleh Ahmad Rofiq
0
0
BERITA
berjudul ’’Kiblat Masjid Agung Demak Dikembalikan seperti Era
Walisongo’’ (SM, 07/01/12) mengusik penulis. Ada dua alasan, pertama;
telah dilakukan beberapa kali uji sahih (kebenaran) oleh beberapa pakar
ilmu falak, baik menggunakan teodolit, global positioning system (GPS),
maupun penetapan arah kiblat pada 16 Juli 2010 yang menimpulkan bahwa
arah kiblat yang benar, dihitung dari arah kiblat semula, kurang miring
ke arah utara 12 derajat 1 menit.
Takmir masjid pun legawa mengorientasikan ke arah kiblat yang benar versi Badan Hisab Rukyat Demak (BHRD) dengan menggeser saf, mengubah posisi karpet/ sajadah agar sesuai dengan arah kiblat yang diyakini, baik secara fikih maupun keyakinan.
Jika diverifikasi di lapangan, artinya diukur dari Masjid Agung Demak, menurut Drs KH Slamet Hambali MAg, per 1 derajat, dari Masjidil Haram ekuivalen 107,291 km. Dengan demikian arah kiblat semula yang digunakan untuk shalat, terjadi pembelokan dengan selisih 12 derajat 1 menit x 107,291 km = 1.289,296 km selatan Kakbah. Bila ’’diluruskan’’ dari Masjid Agung Demak maka jamaah tidak menghadap kiblat di Mekkah tapi ke arah Ethiopia/Daleti.
Kedua; mengapa shalat yang sudah menghadap arah kiblat yang benar, meskipun tidak simetris dengan arah tembok masjid yang dibangun wali, kalau ternyata secara keilmuan dan keyakinan tidak persis menghadap Kakbah, harus dikembalikan pada yang ’’kurang tepat’’? Bukankah tindakan ini sama artinya dengan memilih yang salah?
Menjadi Pedoman
Lantas, apakah Tim 9 yang terdiri atas Ketua Takmir Drs KH Muhammad Asyiq (Ketua MUI Demak), Drs HM Dachirin Said, Drs KH Masruchin Ahmad, Drs KH. Arief Cholil MAg, Drs Saerozi, Drs H Nur Rosyid, H Abdul Fatah, H Muzammil, dan KH Abdul Rosyid, menjamin sahnya shalat jamaah di Masjid Agung Demak setelah arah kiblatnya dikembalikan ke arah semula, padahal secara keilmuan dan fikih diketahui ada kemelencengan cukup besar? Masalah ini menjadi perhatian khalayak mengingat Masjid Agung Demak adalah salah satu tujuan ziarah muslim.
Imam Ishaq Ibrahim al-Syairazy dalam buku al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Ma’rifah, hlm 223) menegaskan bahwa menghadap kiblat yang tepat adalah syarat sahnya shalat. Boleh melenceng manakala dalam keadaan ketakutan, atau shalat di atas kendaraan yang bergerak (bersifat mobile) seperti di atas kapal yang sedang berlayar atau dalam di pesawat.
Abu al-Walid Ibn Rusyd al-Qurthuby al-Maliky (530-595 H) dalam Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Beirut: Dar Ibn Hazm, hlm 95) menyatakan muslimin sepakat bahwa menghadap kiblat adalah syarat dari sahnya shalat, mendasarkan pada firman Allah QS Al-Baqarah: 2:144.
Dengan kata lain jika seseorang shalat dan ia tahu tidak menghadap kiblatnya secara tepat maka maka shalatnya tidak sah (baca Imam al-Syafiíi, al-Umm, Mujallad 1, hlm. 114), dan wajib mengulanginya. Ibn Rusyd menegaskan, al-Syafiíi mengatakan, menghadap kiblat secara tepat adalah fardu dan jika seseorang dengan sangat jelas menghadap arah kiblat yang salah maka ia harus mengulangi shalatnya selamanya. (Bidayah al-Mujtahid, hlm 96).
Merujuk pendapat Imam al-Syafiíi, al-Syairazy, dan Ibn Rusyd tersebut, dapat ditegaskan bahwa penetapan Tim 9 dan Pengurus Takmir Masjid Agung Demak untuk mengembalikan arah kiblat seperti semula, yang secara ilmu fikih dan keilmuan diketahui secara jelas kurang miring ke utara 12 derajat 1 menit maka mestinya hal ini yang dipedomani dan berarti shalatnya harus diulangi selamanya.
Semoga tulisan ini dapat menggugah Tim 9 dan Pengurus Takmir Masjid Agung Demak, untuk mempertimbangkan kembali secara jernih, jujur, dan amanah, demi sahnya shalat seluruh jamaah yang pernah, sedang, dan akan menjalankan shalat di Masjid Wali tersebut. (10)
— Prof Dr H Ahmad Rofiq MA, Sekretaris Umum MUI Jateng, guru besar Hukum Islam IAIN Walisongo, dan Ketua Umum Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) Jateng
(/)
Takmir masjid pun legawa mengorientasikan ke arah kiblat yang benar versi Badan Hisab Rukyat Demak (BHRD) dengan menggeser saf, mengubah posisi karpet/ sajadah agar sesuai dengan arah kiblat yang diyakini, baik secara fikih maupun keyakinan.
Jika diverifikasi di lapangan, artinya diukur dari Masjid Agung Demak, menurut Drs KH Slamet Hambali MAg, per 1 derajat, dari Masjidil Haram ekuivalen 107,291 km. Dengan demikian arah kiblat semula yang digunakan untuk shalat, terjadi pembelokan dengan selisih 12 derajat 1 menit x 107,291 km = 1.289,296 km selatan Kakbah. Bila ’’diluruskan’’ dari Masjid Agung Demak maka jamaah tidak menghadap kiblat di Mekkah tapi ke arah Ethiopia/Daleti.
Kedua; mengapa shalat yang sudah menghadap arah kiblat yang benar, meskipun tidak simetris dengan arah tembok masjid yang dibangun wali, kalau ternyata secara keilmuan dan keyakinan tidak persis menghadap Kakbah, harus dikembalikan pada yang ’’kurang tepat’’? Bukankah tindakan ini sama artinya dengan memilih yang salah?
Menjadi Pedoman
Lantas, apakah Tim 9 yang terdiri atas Ketua Takmir Drs KH Muhammad Asyiq (Ketua MUI Demak), Drs HM Dachirin Said, Drs KH Masruchin Ahmad, Drs KH. Arief Cholil MAg, Drs Saerozi, Drs H Nur Rosyid, H Abdul Fatah, H Muzammil, dan KH Abdul Rosyid, menjamin sahnya shalat jamaah di Masjid Agung Demak setelah arah kiblatnya dikembalikan ke arah semula, padahal secara keilmuan dan fikih diketahui ada kemelencengan cukup besar? Masalah ini menjadi perhatian khalayak mengingat Masjid Agung Demak adalah salah satu tujuan ziarah muslim.
Imam Ishaq Ibrahim al-Syairazy dalam buku al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Ma’rifah, hlm 223) menegaskan bahwa menghadap kiblat yang tepat adalah syarat sahnya shalat. Boleh melenceng manakala dalam keadaan ketakutan, atau shalat di atas kendaraan yang bergerak (bersifat mobile) seperti di atas kapal yang sedang berlayar atau dalam di pesawat.
Abu al-Walid Ibn Rusyd al-Qurthuby al-Maliky (530-595 H) dalam Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Beirut: Dar Ibn Hazm, hlm 95) menyatakan muslimin sepakat bahwa menghadap kiblat adalah syarat dari sahnya shalat, mendasarkan pada firman Allah QS Al-Baqarah: 2:144.
Dengan kata lain jika seseorang shalat dan ia tahu tidak menghadap kiblatnya secara tepat maka maka shalatnya tidak sah (baca Imam al-Syafiíi, al-Umm, Mujallad 1, hlm. 114), dan wajib mengulanginya. Ibn Rusyd menegaskan, al-Syafiíi mengatakan, menghadap kiblat secara tepat adalah fardu dan jika seseorang dengan sangat jelas menghadap arah kiblat yang salah maka ia harus mengulangi shalatnya selamanya. (Bidayah al-Mujtahid, hlm 96).
Merujuk pendapat Imam al-Syafiíi, al-Syairazy, dan Ibn Rusyd tersebut, dapat ditegaskan bahwa penetapan Tim 9 dan Pengurus Takmir Masjid Agung Demak untuk mengembalikan arah kiblat seperti semula, yang secara ilmu fikih dan keilmuan diketahui secara jelas kurang miring ke utara 12 derajat 1 menit maka mestinya hal ini yang dipedomani dan berarti shalatnya harus diulangi selamanya.
Semoga tulisan ini dapat menggugah Tim 9 dan Pengurus Takmir Masjid Agung Demak, untuk mempertimbangkan kembali secara jernih, jujur, dan amanah, demi sahnya shalat seluruh jamaah yang pernah, sedang, dan akan menjalankan shalat di Masjid Wali tersebut. (10)
— Prof Dr H Ahmad Rofiq MA, Sekretaris Umum MUI Jateng, guru besar Hukum Islam IAIN Walisongo, dan Ketua Umum Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) Jateng
(/)
Bagi Anda pengguna ponsel, nikmati berita terkini lewat http://m.suaramerdeka.com
Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad
Dapatkan SM launcher untuk BlackBerry http://m.suaramerdeka.com/bb/bblauncher/SMLauncher.jad